Sewa Umeong
Sewa umeong , begitulah sebuah
adagium Tempo dilee yang pernah
dipakai dalam masyarakat gampong, istilah
ini pasti tidak asing bagi mareka masyarakat perdesaan aceh, apalagi mereka masyarakat
yang berdomisili di wilayah pantai barat aceh khusunya nagan raya, khususnya para petani atau ureng meugo blang, istilah ini sangat
populis pada era tahun 70 an, sejalan dimana pada umunya masyarakat nagan mengadukan
nasib mereka pada hasil pertanian khususnya padi.
Rasanya, belum lengkap jadinya bila belum memiliki sepetak sawah untuk menanam padi, meskipun itu tergolong kecil, sekalipun mereka yang sudah berkehidupan mapan dengan menerima transferan gaji dari pemerintah setiap bulannya, begitupun pada umumnya anak-anak muda, mereka mendedikasikan dirinya untuk bertani, apalagi bagi mereka yang hendak berumah tangga, tentu meugo menjadi andalan utama untuk megumpulkan manyam demi untuk memenuhi pinagannya mereka.
Rasanya, belum lengkap jadinya bila belum memiliki sepetak sawah untuk menanam padi, meskipun itu tergolong kecil, sekalipun mereka yang sudah berkehidupan mapan dengan menerima transferan gaji dari pemerintah setiap bulannya, begitupun pada umumnya anak-anak muda, mereka mendedikasikan dirinya untuk bertani, apalagi bagi mereka yang hendak berumah tangga, tentu meugo menjadi andalan utama untuk megumpulkan manyam demi untuk memenuhi pinagannya mereka.
Menjadi petani memang sesutu yang
membanggakan dan pekerjaan mulia, apa lagi, Jeumeot,
pekerja keras seorang pemuda, menjadi
lirikan para gadis, bahkan nilai plus calon sang mertua untuk dijadikan
menantu, pendidikan, mungkin masih sangat tabu begi mereka, walau ada beberapa
yang menempuh jalur pendidikan perguruan tinggi, itupun masih dapat dihitung
jari, pendidikan seseorang juga sangat tergantung dari luas, luas nya sawah
yang dimiliki, atau mereke anak juragan tanah, sisanya adalah mereka-meraka
yang membayar sewa umeng yang hanya dapat
menempuh pendidikan di bangku sekolah dasar.
Inilah mereka-mereka yang tidak
memili umeng sendiri, yang banyak
mengadukan nasibnya kepada jurangan tanah, dengan mendekati mereka yang
memiliki umeng luas, dengan ketentuan
akan membeyar sewa pada saat musim panen
tiba, tentu sesuai dengan, kesepakatan dan setimpa dengan luas umeng yang disewanya pula. Biasanya, mereka
juga akan menyewa jasa kerbau untuk menggarap sawah-sawah mereka, yang dibayar
sesudah memperoleh hasil karena pembayarannya masih belum mengandalkan
uang melainkan hanya dengan “ padi ’’
adalah dengan takaran naleh, gunca, sesuai
dengan luas atau lahan, yang telah ditentukan, adapula yang dibayar menurut
hasil panen yang diperoleh, tergantung kesepakatan awal antara si penyewa dan
yang menyewa lahan.
Dan bergitupu sebuah gambaran kehidupan masa lalu mengendap disudut-sudut ingatan, kemudian berlalu seiring lajunya jaman, umeng yang pada masa dulu menjadi andalan kini dibajak oleh gedung-gedung ruko-ruko bertingkat, membayar sewa kebau itu hanyalah cerita lalu, jaman sekarang adalah masa dimana Nip berbicara. Kerena jaman sudah beda.
Dan bergitupu sebuah gambaran kehidupan masa lalu mengendap disudut-sudut ingatan, kemudian berlalu seiring lajunya jaman, umeng yang pada masa dulu menjadi andalan kini dibajak oleh gedung-gedung ruko-ruko bertingkat, membayar sewa kebau itu hanyalah cerita lalu, jaman sekarang adalah masa dimana Nip berbicara. Kerena jaman sudah beda.
Meskipun jaman sudah beda, kehidupan
bertani sudah di anggab sesuatu yang tabu, sepertinya istilah sewa umeng, masih tetap saja digunakan
dalam masyarakat, baru-baru ini, setelah sekian lama padam istilah itu kembali
terdegar dari seseorang. boleh dikatakan teman ngopi lah, dari cara
berpenampilan dapat saya simpulkan ia ber berprofesi sebagai salah seorang
rekanan proyek pemerintah di Kabupaten Nagan Raya, setidak nya ia pernah
mengikuti prosesi tender proyek.
Lebih kurang, begini tutur kawan
saya ini, sangat jarang dan tabu bagi pemerintah itu untuk berlaku transparan
dalam proses tender, dan yang paling memberatkan ketika kewajiban membayar “ Sewa Umeng ” upeti yang harus dipenuhi
oleh rekanan kepada si pemilik paket pekerjaan, sebelum Sesuatu belum ada
kejelasan”. Ops..keceblosan..!
Tunggu dulu, Sebenarnya ini
hanyalah obrolan seputar warung kopi, yang lepas begitu saja, liar tidak
mengarah, begitupun, tidak baik juga terlalu cepat berkesimpulan setiap obrolan
yang dilahirkan dari warung kopi adalah sesuatu yang tidak penting untuk
dibicarakan, karena setiap sesuatu yang berawal dari pembicaraan warung kupi
biasanya juga ada sangkut pautnya dengan fenomena kehidupan masyarakat.
Ah peduli amat, bukan mengapa ini hanyalah cangpanah warong kupi, bila beralas dari
uraian di atas, Kalian pasti mempu membedakan dan ketepatan antara istilah Sewa Umeng yang digunakan Endatu
Tempo dulu dengan istilah yang di gunakan sekarang ini. begitupun
waktu
pembayarannya. Sangat jauh berbeda bukan? Lalu kalian, apalagi saya,
yang sudah barang tentu menimnulkan rasa ingin tahu, menyisakan
pertanyaan dalam benak masing-masing,
Benarkan adanya istilah demikian lalu siapa sich penguasa mutlak dari “ Umeong” di Nagan ..?
Komentar
Posting Komentar