“ Membudayakan Penaggulangan Resiko Bencana ”

Oleh : Teuku Hendra Keumala

Budaya pengurangan penanggulagan bencana di aceh merupakan satu hal yang sangat lengkap, karna kalau melihat dari sejarahnya, daerah aceh ketika terjadi bencana tsunami pada tanggal 26 desember 2004 silam, sangat banyak makna atau pembelajaran yang harus kita ambil, sehingga apa yang di sebut dengan penanggulangan bencana, ataupun untuk mengurangi tingkat kerentanan di masrayakat aceh, terutama dalam hal menghadapi bencana yang kemunkinan akan terjadi kembali bisa teratasi.

Di lembaga – lembaga penelitian aceh juga sudah melaksanakan beberapa riset dan juga  beberapa hasil penemuan di lapangan ketika terjadi bencana, karna sejauh ini kita melihat dari tingkat kesiapan masyarakat juga masih belum teraktualisasi, ketika  ada  bencana, kenapa itu bisa terjadin, karna tinggkat sosialisasi atau pembelajaran ke  masyarakat bawah, belum terpenuhi atau belum tersosialisasi.


Dari hasil usaha pemerintah aceh itu sendiri, sudah banyak hal  yang di upayakan pemerintahan selama ini, seperti mengeluarkan semacam  eksis strategisnya untuk budaya pengurangan  resiko  bencana, terutama sudah adanya modul – modul pelatihan dan juga adanya Dril pencegahan kepada masyarakat. dan banyak bangunan gedung yang di bangun di banda aceh, terutama di kecamatan ule lee.


Akan tetapi standar opresional prosedur untuk pengunaan bangunan tersebut belum ada, gedung yang bernilai 10,5 M yang di hibah oleh negara – negara berimbang, terutama dari jepang terlihat dan  terkesan terbengkalai, kenapa hal ini bisa terjadi,  karna budaya penanggulangan bencana belum ada di kita.


Di sinilah peran kita  bersama terutama dari pemerintahan aceh, dan para pengiat pengurangan penangulangan bencana, untuk  kembali melihat sejauh mana kita mengevaluasi diri dalam hal mengalakkan  budaya pengurangan resiko bencana  di aceh, karna kita lihat sendiri, aceh itu berada di wilayah yang sangat rawan, yang kita ketahui secara geografis  berada di jalur semangko setiap pengeseran bumi akan terlihat dan dirasakan.


Sejauh ini pemerintah sudah mengusahakan, tapi kurang maksimal artinya kita harus memaksimalkan kembali  sampai budaya penanggulangan resiko bencana melekat di masyarakat aceh, dalam hal ini kita perlu belajar dari jepang, jepang  sampai saat ini bila terjadi bencana masyarakat tidak lagi mengalami kepanikan yang luar biasa, karna budaya penanggulagan resiko bencana  sudah melekat di hati masyarakat jepang.

Sangat siknifikan ketika pemerintah indonesia melalui eksekutif dan legeslatif mengeluarkan UUD 24 tahun 2007 tentang pengurangan isu bencana, dan juga indonesia sudah menandatangani MOU NGO sebagai dasar setiap negara dalam dasar program dalam rangka mengurangi isu bencana, dan hal ini cukup mendukung gerakan budaya untuk pengurangan isu bencana di aceh.


Dan juga di aceh sendiri dengan di keluarkan nya kanun no 4 dan 5 tentang tata cara  penanggulangan  bencana di aceh, dan cara pengelolaan nya, hal ini juga di lihat dari visi misi nya gubernur aceh  yang sudah icam back dengan program gren aceh dan monitoring ilegal loging, artinya sudah ada arahan yang mengengarah ke pengurangan budaya bencana di aceh.


Akan tetapi hal tersebut tidak berjalan maksimal, sepertinya pemerintah aceh terjebak dengan hal – hal yang bersifat seremunial tersebut, artinya banyak pembalakan – pembalakan liar yang terjadi di aceh, dan tidak terjangkau oleh aparat kepolisian, akhirnya menimbulkan bencana seperti banjir bandang di tanggse.


Hal  ini di  perparah dengan kondisi  internal yang terkesan mehambat proses berjalan nya di lapangan, seperti timbulnya ego sektoral, ketika terjadinya bencana di aceh, antara sektor dinas, lembaga di aceh mesih melihat visi misi sektoral masing – masing dan bukan pada visi misi untuk  menyelamatkan masyarakat.
maistrem pihak legislatih dan eksekutif aceh masih melihat paradikma penanggulan bencana  masih melihat pada  penurunannya saja, disitulah persoalan – persoalan dan tantagan kedepan yang perlu kita jawab bersama.



Komentar

Postingan Populer