Filosofi Maulid dalam Tradisi Masyarakat Aceh

Hentakan kaki di lantai berbahan papan menciptakan irama yang membawa suasana magis. Dilengkapi dengan suara zikir (Aceh: dikee) yang bergelombang penuh gairah. Sedangkan masyarakat seisi gampong (desa) berbondong-bondong datang ke meunasah, sebutan Aceh untuk mushalla. Maulid atau peringatan kelahiran sosok Nabi yang membawa ajaran Islam, Muhammad SAW, ghalibnya masyarakat Muslim, juga diperingati di Aceh dengan upacara yang khas dan bernuansa tradisi. Di sana, terketemukan semangat kebersamaan masyarakat Aceh. Semangat yang melingkupi gerak badan, gerak lidah, dan gerak tangan; dalam zikir dan dalammeuseuraya (bergotong royong). Upacara peringatan kelahiran Muhammad SAW tsb, dalam beberapa literatur disebutkan, sudah dikenal dan dilakukan oleh masyarakat Aceh yang notabene adalah muslim sejak awal mula Islam datang ke sana (abad ke-13, berdasar teori Hurgronje). Pada perhelatan tersebut, biasanya diisi dengan berbagai kegiatan yang berbau Islam bersamaan pada hari yang sama dilaksanakannya perayaan Maulid: 1. Khanuri (makan bersama). Pada acara khanuri ini, masyarakat Aceh, lepas apa pun kondisi sosial dan ekonomi mereka, namun biasanya akan tetap membikin kenduri tersebut. Bagi masyarakat yang berekonomi kuat, tak pelak mereka akan mengorbankan keubeue (kerbau) atawa bahkan kameng (kambing). Hewan ternak tersebut menjadi bagian hidangan setelah digulai dengan berbagai macam jenis masakan. Tak hanya yang berekonomi kuat, masyarakat yang tergolong lemah dari segi ekonominya pun merasa memiliki keharusan untuk ikut serta. Tak jarang, sebagian dari mereka yang disebut terakhir ini, sengaja memelihara ayam dan itik yang diniatkan merayakan tradisi maulid di gampong nantinya. Ada yang unik di sini, dalam memilih ternak yang akan dipersembahkan untuk maulid, mereka akan memilih yang terbaik dari ternak tersebut; berdaging paling banyak, dan paling sehat. Menyiratkan satu sisi filosofis, sekaligus transformasi ajaran Islam dalam memberi; bahwa dalam memberi selalu lebih baik dengan pemberian yang terbaik. 2. Meudikee (zikir). Ghalibnya, kegiatan zikir kerap diadakan di lapangan terbuka. Atau, jika melongok lagi ke masa sebelum 90-an, mereka kerap lakukan kegiatan zikir tersebut di meunasah (mushalla). Sedang meunasah itu sendiri biasanya berbentuk bangunan panggung dengan lantai berbahan papan. Nah, dalam zikir tersebut, dilakukan dengan cara yang memang mirip tarian. Terkadang mereka bergerak maju mundur sembari berangkulan. Dengan posisi kepala juga sesekali menunduk, mengangkat, dan seterusnya. Menariknya, jika memperhatikan ekspresi wajah pelaku zikir tersebut, mereka seperti mengalami ekstase (fana, dalam terminologi sufistik). Mereka takkan merasakan sakit andaipun dalam proses zikir, misal, kaki mereka terinjak, dlsb. Uniknya lagi, meski zikir tersebut dilakukan dalam waktu yang terhitung lama--biasanya lebih dari setengah hari--namun hampir tidak pernah terdengar mereka jatuh pingsan. Walaupun, zikir itu lagi dilakukan dalam waktu demikian dilengkapi dengan gerak begitu rupa pastinya melelahkan. Dari beberapa sumber, didapati bahwa tradisi zikir dengan bentuk demikian dipengaruhi oleh aliran-aliran/ mazhab dalam tashawwuf--beberapa menyebutnya pengaruh dari aliran Naqsyabandiyah. Secara filosofistik, tradisi meudikee demikian menjadi media untuk memperkenalkan nilai-nilai reliji islami, nilai-nilai kebersamaan, dan tak terkecuali semangat kebersamaan. Menambahkan sedikit lagi, meuseuraya (gotong royong dalam membikin kenduri) dan zikir itu sendiri, dilakukan secara bersama-sama. Itu menyiratkan pesan, berlelah-lelah bersama-sama, dan menikmatinya pun bersama. Pun, kelelahan yang dilengkapi dengan keringat tersebut merupakan ekspresi dari perjuangan tanpa menafikan zikir sebagai tujuan. *** Dari sejak awal tahun 1990 sampai sekarang, tradisi perayaan maulid tersebut sedikit mulai berubah. Hal tersebut tak lain karena pertarungan pemikiran, dan upaya dari beberapa kalangan muda yang berpandangan bahwa peringatan maulid itu bid'ah, dlsb. Sedang dalam hemat pribadi saya, kalangan yang menentang perayaan maulid tersebut memang kalangan memiliki kapasitas keilmuan lebih dan pemahaman agama yang mumpuni. Hanya saja, saya merasa tergelitik untuk menyebut mereka cerdas, namun tidak bijak. Terdapat kecenderungan missed atau gagal melihat sisi tersirat dari perayaan dimaksud. Tak heran, belakangan, perayaan maulid di Aceh cenderung dirayakan dengan acara kenduri dan ceramah agama saja. Meski saya sendiri belum bisa simpulkan, apakah pilihan ini sebagai jalan tengah untuk menyikapi penentangan dari beberapa kalangan? Wallaahu a'lam. Zulfikar Akbar on 13 Maret 2012 | 14:40

Komentar

Postingan Populer