" Sheut Paya "


Oleh : T. Hendra Keumala Alasyah










Di lantai dua asrama nagan raya, di ujung sudut kamar mandi, ku duduk menikmati suasana pagi yang di temani koran harian serambi, koran lokal yang biasa kami baca tiap hari, dan secankir kopi mix yang ku buat sendiri, dengan air yang di panasi dispenser, cukup hangatkan tenggorokan di pagi hari ini, pagi itu masih sangat sepi karna banyak dari kawan – kawan yang masih bergelut dengan mimpi, maklum saja semalam ada pertarungan sengit  antara barca melawan  madrid, jadi kawan kawan asrama rela mengorbankan waktu tidur nya untuk menyaksikan pertarungan itu.


            Halaman demi halaman koran terus ku buka, aku membaca judul demi judul yang di sungguhi serambi hari itu, sambil ku lepas gempulan asap tebal dari mulut, yang baru saja ku dapat dari sigaret Dji sam sue sisa nonton bola semalam, perasaan bosal muncul dari dalam diri ketika melihat pemberitaan tentang komflik regulasi di aceh sepertinya tak ada ujung, teriakan demi teriakan pendemo yang di motori para politisi aceh kian menyesaki kolom – kolom kosong harian serambi indonesia.


            Perasaan bosan setelah membaca koran kian memuncak, aku bangun menuju kamar 19 di sana ku dapati agus, biasa kami panggil pak leh, ia kuliah di fakultas hukum unsyiah, yang masih tidur di atas ranjang nya, ia masih setia menemani bantal gulingnya yang sudah tidak nampak warna aslinya lagi, sepertinya ia pulas sekali, aku tidak mau meganggunya, ini kamar kami berdua, kamar seluas empat kali tiga ini telah kami tepati selama lima semister, kemudian aku menuju ke rak buku yang berada di sudut kamar, Aku raih sebuh novel  Ranah Lima Warna, yang megisahkan tentang santri Gontor berkeliling dunia,  dua hari yang lalu aku beli.


            Terus aku kembali ke tempat duduk sambil membawa  novel tersebut, punggung belum lagi kurapatkan di kursi, mata ku mengarah kedalam kebun kosong yang berada di samping asrama yang biasanya di penuhi genangan air, tapi kini lain, mata kembali menjelajah keseluruh isi kebun kosong itu, aku dapati kubang yang di keliligi oleh rumput jerami, yang di isi oleh hanya sedikit air keruh dan  terlihat ada goyangan sesekali,  aku tidak lagi peduli dengan buku bacaan dan koran, terus memperhatikan gelagat gerakan dalam kubang tersebut.


            Kemudian firasat ku mengatakan bahwa itu ikan yang sedang dalam kegalauan di saat kemarau datang, karna debit air yang semakin berkurang, tapi hati belum begitu yakin, munkin itu hanya ular, jikalau benar ikan, lumayan buat menu siang, dengan perasaan bimbang aku turun dari lantai dua asrama menuju kebun samping, ingin memastikan, aku naiki pagar dan harus belepotan dengan lumpur – lumpur hitam, sampai di sana aku mendapati ikan seukuran telapak tanggan yang sedang mengipasi air hitam, aku kembali senang, lumayan hari ini tidak perlu keluarin uang untuk makan siang maklum anak kost harus hemat dikit. heheheee….. 


            Sorak senang menemani langkah ku menuju kembali ke asraman, dengan berlari – lari kecil kaki menaiki tangga menuju lantai dua asrama, sesampai nya di kamar dengan cepat tangga meraih gagang pintu terus mendorong dengan sedikit mengeluarkan tenaga. Agus yang masih saja tertidur  kubagunin dengan mengoyangkan badan nya. Agak sedikit malas agus membukakan matanya pelan, aku tidak sabar mulut ku terus mengeluarkan kata – kata, kajet beudoh, dengan masih perasaan malas kawan ini bangun dengan pertanyaan peuna ( ada apa..? ). 


Dengan perasan menyesal telah membagunkan nya, aku menjelaskan,  karna ia juga baru saja merebahkan badan di kasur setelah nonton bola tadi malam, baru saja aku mengatakan kolam di samping asrama kita sudah kering ada banyak ikan di sana, pembicaran belum sampai titik, agus bergegas menuju ke arah kamar mandi, dari atas lantai dua ia lihat ke arah pembicaraan tadi.
            

            Secepak kilat kami turun kebawah dengan menyelusuri satu persatu anak tangga, tesus menuju kebun samping, tanggan agus menjijing timba yang ia dapat dari bak mandi, sedikit demi sedikit debit air semakin berkurang kami kuras dengan nafas teregas – regas.
Butiran keringat bercucuran tidak kami hiraukan di hempas sang mentari pagi, bahak tawa kami pun pecah bersama ikan – ikan yang merosot memasuki kepala kedalam lumpur – lumpur hitam.


Ha.. ha.. ha.. ha… ha.. Tawa kami kembali pecah ketika melihat  kawan – kawan yang lain dalam keadaaan kebingungan, mata mereka mengerah kearah kami yang sudah berlepotan dengan lumpur, tampah menunggu aba – aba merekapun ikut numbrung
Ke dalam paya menangkap ikan nila, akhir cerita makan siang dengan irisan bawang dan ikan nila bakar yang sudah di beri asam. Aummmm…. Ma” Nyuusssssssssssss….!

Komentar

Postingan Populer