“ Bendera, Suka, Duka Bagi Aceh ”
Menyoa persoalan bendera seakan tidak pernah habisnya dalam
peradaban masyarakat aceh, fenomena lambang dan bendera, bergulir seiring
jalanyan waktu mulai masa kejayaan, kerajaan, keterpurukan, konflik Gam dan
sampai sekarang ( Aceh Damai ) begitu melekat dalam tatanan keseharian
masyarakat.
Bagi sebagian kalangan, terkadang benda itu sering menjadi
perdebatan, pro-kontra dalam memaknai keabsahan bendera, hal itu tidak dapat
diartikan sebagai sikap penolakan terhadap keberadaan bendera diaceh, melainkan
sudah terlalu banyaknya benda yang bersifat simbolik itu, bahkan bagi sebagian
kalangan sudah mengangapnya sakral.
Keberangaman ini tidak terselepas dari masa lalu aceh yang
diduduki oleh berbagai suku dan budaya, bila merujuk pada sejarah. aceh, selain
mempunyai beberapa kejaan juga memiliki berbagai bendera sebagai simbol dalam
sebuah kerajaan tertentu, dapat kita maklumi bila kehadiran Qanun bendera
baru-baru ini menjadi perdebatan diaceh.
Sepanjang konflik Gam, bendera yang pernah dimiliki aceh masa
lalu tenggelam bersamaan pemerintahan kerajaan, dan bendera itu hanya menjadi
hiasan, barang pajangan sebagai saksi sejarah. dan yang muncul kemudian adalah
bendera berlambangkan bulan bintang, bercorak garis putih hitam dan dipadu oleh
warna kemerahan sebagai simbol perlawanan gerakan aceh merdeka terhadap
pemerintahan Indonesia
yang diprakarsai Tgk. Hasan Tiro.
Pasca damai, simbul-simbul yang berbaur pisah atau merdeka
itu tidak diperbolehkan, begitulah tertera disalahsatu poin kesepakatan MoU
Helsinki, tidak tertutup kemungkinan bendera Bulan Bintang (Bendera Gam). Meskipun dipoin yang lain, membolehkan bagi
Aceh, untuk memiliki Bendera, Himne dan Lambang sendiri.
Sebagai perwujudan amanah MoU Helsiki itu, baru-baru ini
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan sebuah qanun yang berkenaan
dengan bendera aceh, sehari setelah pengetukan palu, disambut oleh arak-arakan
bendera bulan bintang dibeberapa wilayah diaceh. beberapa minggu sebelumnya,
salah satu media Online juga memberitakan hal yang sama, munkin tempat dan
momen yang berbeda, “serombongan para Intat Linto ( Hantar Pengantin ) di
Swedia mengibarkan bendera Gam pada saat prosesi adat itu berlangsung.
Cukup unik, bila kita Diaceh para rombogan Intat Linto membawakan “Teube Meu On” dan kelapa muda. diswedia
cukup membawa bendera. Ada-ada saja memang orang kita, atau mungkinkah
disana tidak ada tebu dan hanya mereka yang tau, sebenarnya bukan ini yang
ingin disampaikan karena hal ini tidak begitu penting menurut saya.
Lebih- lebih berkenaan dengan tanggal 4 desember, masyarakat dirasuki
oleh rasa takut, perasaan was-was, karena Sudah dapat dipastikan bendera itu akan
dinaikkan disepanjang jalan dan resikonya, masyarakatlah yang akan menelan
akibatnya. Kenapa tidak pada saat itu masyarakat sangat sulit memposisikan
dirinya dalam posisi “ penegah” untuk tidak berpihak kedalam pihak yang
pertikai ( TNI dan TNA ). Tapi lagi – lagi masyarakat sebagai objek yang
diperebutkan waktu itu.
Diamana di satusisi masyarakat, bila berhadapan dengan pihak
TNI diwajibkan untuk menaikan bendera “ Merah Putih ’’ sebagai bendera negara
republik indonesia, disisi lain masyarakat ditungding oleh pihak Gam sebagai “
Cuak ’’ atau pengkhianat, dan bila berhadapan
dengan orang Gam masyarakat dianjurkan menaikan bendera Bulan Bintang, oleh TNI
menunding masyarakat sebagai “ Separatis “ dan kondisi dilematis ini kembali
menyeret masyarakat disaat aceh Damai lagi – lagi masyarakat diseret oleh
kontroversi bendera Aceh.
Mungkin saya boleh menbedakan serta menarik kesimpulan dari
catatan singkat ini, pengibaran bendera pada masa sekarang ( pasca pengesahan
Qanun Bendera ) dan pada saat acara intat linto yang dilakukan diswedia itu,
ada kesamaan yaitu sama-sama meneteskan air mata karena disebabkan bahagia (
terharu ). dan tentu sangat berbeda dengan yang dirasakan masyarakat diaceh pada
saat konflik dan sekarang, yaitu menteskan air mata karena kesakitan menahan
tendangan. Boleh jadi terkena tendang bila-bila moncong senjata bicara.
Bila menyoal perihal
bendera memang tidak pernah habisnya diaceh, bendera yang memiliki garis hitam
putih dan bergambar bintang bulan, telah banyak menyimpan memoriam bagi rakyat
aceh. Suka maupun duka, seorang anak menjadi yatim, seorang istri kehilangan
suami, sebuah keluarga kehilangan tempat tinggal semua itu hanya disebabkan
bendara. Memang Qanun bendera merupakan salah satu turunan dari kesepakan damai
MoU Helsinki yang mesti dilahirkan pemerintah aceh, namun jangan sampai mengusik kembali luka masa lalu
Rakyat Aceh.
Komentar
Posting Komentar