Jauh Dibalik duga
Kabut putih menyelimuti hamparan hijau tanaman padi dipagi itu, daun-daun runcing tipis bergerak kesana kemari mengikuti perintah angin, menumpahkan sisa-sisa bening embun yang hinggap semalaman.
Mengalir tumpah ruwah di sela-sela batang padi, bercampur dengan jutaan liter air yang mendiami persawahan, hawa dingin udara pagi, menyapa tiap gerak langkah yang diayunkan bocah kurus menuju sekolah nya.
Jarak tempuh dua kilo meter itu tidak pernah menyurutkan semangatnya Agam, untuk megenal si budi, jalan yang penuhi kerikil, ditumbuhi rumput-rumput subur, hampir tiap harinya ia jelajah dengan berjalan kaki.
Agam, duduk tersimpu di kursi paling depan, yang berukuran dua meter, tangan nya di lipat di atas meja perawaka sopan, begitu juga dengan anak – anak yang lain, mereka sedang menunggu ibu Marli seorang guru honorer yang mengajarkan pelajaran bahasa indonesia kelas satu.
Jarum Jam sudah menujukan pukul sembilan, mata hari sudah mulai naik meninggalkan sarang, pesona dingin masih mengelus - elus kulit. membuat bulu – bulu kecil merinding tegak, ibu marli belum menampakkan dirinya di pagi ini.
Biasanya jam segini sudah meneriakkan “ ini budi”mengajarkan kami membaca, dengan suara khasnya, sambil menunjuk coretan di papan tulis dengan rol yang berukurang satu meter itu.
Suara kegirangan burung gereja bersahutan berkejaran terbang bebas mengundara di udara, anak – anakpun berhamburan berlarian di sela – sela meja belajar, setelah sekian lama menunggu ibu marli tak kunjung tiba.
Tangan si Agam sibuk mengores – gores uanpan embun di jendela kaca, tiba -tiba suara kretak krutuk.. langkah sepatu terdegar dari kejauhan mendekati, menuju ke arah kelas kami,
“ Ibu marli katroh ”( ibu marli sudah sampai ) teriak Dian, dalam bahasa aceh, anak – anak kembali diam duduk rapi di atas kursinya masing – masing.
Seorang pria paruh baya muncul di balik daun pintu kelas itu, ternyata bukanlah orang yang di tunggu, ia bapak Nyak Na, beliau kepala sekolah di Madrasah Ibtidayah Negeri Keude Linteng, tempat si Agam belajar selama ini.
Tampa basa – basi ia menyuruhku ke ruangan guru, aku mengekor dari belakang, dengan sedikit rasa sok tau, “pasti menyuruhku merapikan buku di pustaka”, lirih Agam dalam hati.
Kaki nya mulai menyelusuri lantai licin ruangan guru, aku mendapati seorang pemuda yang sedang berbisik – bisik duduk membelakangi pintu,entah apa yang dibisiknya, dia bukanlah guru disini, rupanya ia Bang Adi tentangga rumah ku, “ hatiku bertanya ada keperluan apa ia kemari” munkin ada keperluan pribadi sama salah seorang guru – guru disini, Agam tidak mau meng hiraukan itu.
Dengan wajah sedih ia berpaling ke arah ku serta beberapa guru yang ada di sana pun menatap dengan wajah yang sama, Agam memperdulikan tatapan itu.
“ Apa bapak akan menyuruh ku merapikan buku itu lagi”. tanya Agam kepada pak Nyak Na.
Dengan memedamkan rasa kesedihan, ia menjawab, Hari ini tidak ada yang harus kamu rapikan, lekas lah pulang nak.…! ibu mu sedang menuggu.. bang adi mau menjemput kamu pulang sekarang, jawab Nyak Na.
Kening Agam kerut kecut, hatinya penasaran melihat gelagat yang ganjil tidak sering terjadi.
Agam bergeming, ia tak mau pulang
‘ Kenapa harus pulang secepat ini, bukankah aku harus menunggu ibu marli memperkenalkan kami dengan keluarga si budi”..?
“ Lagi pula, kalau sudah waktunya pulang aku bisa pulang sendiri…!
tampa harus di jemput, jelas Agam dengan lugu sedikit lucu.
“ Kita pulang saja dulu”..!
Bujuk Bang Adi, besok bisa sekolah lagi.
“Ibuk Marli hari ini kurang sehat sambung” Dahlia, guru matematika
dari tadi mendengar percakapan mereka.
Bongkah awan mulai mengirimkan ribuan prajurit hujan mehamtam kerikil – kerikil jalanan, debatan Agam kalah total, meski tidak ada alasan yang kuat, tidak ada seorang pu yang menahan Agam pulang.
Dengan diboncengi sepeda ontel Bang Adi, tangan mungil Agam memegang erat pingangnya Adi, di bawah lembut rintik hujan kaki nya sibuk mengayuh sepeda Ontel menuju rumah.
“ Apa ibu sudah pulang bang” ..? tanya Agam, membuka pembicaraan.
Bang adi seperti merasiakan sesuatu kepada Agam, hati nya remuk mendegar pertanyaan bocah kecil itu, bang adi sedih, tapi ia tidak mau menampak kan kesedihan di depan bocah itu, biarlah sesampai di rumah mengetahui sendiri apa sesungguhnya telah terjadi.
”yaa”! Jawab bang adi singkat.. sambil menoleh ke arah Agam.
“ Bersama abu”? Tanya Agam lagi..
“ Tadi abu menyuruh abang menjemput mu kesekolah”….! Jelas bang adi..
Sorak ceria hati Agam kian buncah saat mendegar penjelasan dari bang adi, selama ini dirinya sangat jarang bertemu dengan kedua orang tuanya, apalagi bermanja seperti kebanyakan anak – anak lain Hati Agam lega,sudah lama menantikan kepulangan ayah ibu nya
Ayah Agam seorang petani yang sedang membuka lahan perkebunan di kecamatan Beutong, agak jauh dari kampung nya, selama masuk sekolah Agam tinggal bersama nenek, sebagai ibu rumah tangga yang penurut, ibu Agam pun juga mengikuti jejak suaminya, kedua orang tuanya hanya pulang sesekali mengunjungi Agam dan mengurus segala keperluan sekolah Agam.
Tidak lama lagi sekolahnya akan ada libur panjang menyambut bulan Ramadha, pasti abu dan ibunya akan membawanya ke ladang, Agam senang sekali bila berada di tempat itu, apa lagi tidak lama lagi jambu – jambu monyet liar yang tumbuh di sekitar ladang nya akan menemui kematangannya.
Jambu – jambu putih itu akan di petikanya dan dimasukkan nya kedalam bejana yang di anyam dari daun pandan kemudian di lahap nya jambu putih itu.
Rasanya gerak roda sepeda sangat lamban berputar kini, hati Agam ingin segera mencium wajah murung dek cut, di saat ia merapatkan hidung di pipi adik nya itu, hanya teriak mak yang keluar dari mulut mungil adik nya itu.
Gejolak rindu hati Agam bukan kepalang tak sabar ingin segera menumpah kan keriduan dalam pelukan ibunya, apalagi sudah lama sekali tidak pernah lagi mendegar hikayat indra budiman, yang sering dikisahkan ibu nya menjelang tidur.
Disepanjang jalan mereka menyaksikan orang berduyun – duyun seperti mau pergi melayat, berjalan satu arah dengan mereka. Mereka menatap si Agam dalam, menyebarkan aura wajah kesedihan. Agam heran menyaksikan tatapan itu yang ganjil itu.
Agam masih binggung belum mengerti apa yang sedang terjadi, semakin mendekati rumah semakin banyak kerumunan orang, mau bertanya tidak berani, sedangkan bang adi membisu sibuk mengayuh sepeda, serta menjaga keseimbangan stank sepeda saat putaran roda itu menaiki batu cadas.
Bang adi memberhentikan sepeda ontel nya tepat di sentral kerumanan orang – orang itu berada, mereka tiba di rumah, Agam galau, rumah nya di sesaki orang orang kampung, ada apa gerangan, Ia berdiri kaku menatap orang – orang di sekelilingnya itu, orang - orang itu memerhatikan gerak langkahnya, tatapan penuh belas kasihan, Agam bingung, suara teriak tagis dari dalam rumah bercampur menjadi satu dengan yasinan.
Sese orang menarik tangannya membimbing masuk kedalam rumah, Agam terdiam tak bisa berbuat apa – apa, Ia termangu dengan buku masih melekat di tanggannya.
Tidak Pernah ada dalam firasat nya selama ini, tidak pernah bisa menerka, semuanya berada jauh di balik duga. orang yang selama ini ia rindui itu sudah terbujur kaku, hati nya hancur kini, jantungnya nyaris kehilangan detak, ia tidak bisa membayangkan kehidupan adik nya nanti, yang masih sangat merah yang belum tau arti kehilangan, mati dan kematian. Ibu nya telah menemui ajal, yang baru saja di pulangkan dari ladang tempat dimana selama ini mengais Rizki membiayai sekolahnya..
Komentar
Posting Komentar